Sae terdiam membaca pesan yang dikirim oleh Adiknya. Tak satu pun kata keluar dari mulutnya setelah membaca pesan itu.
Adiknya benar, Dirinya tak tau diri. Sae tau itu. Air mata mengalir dari iris indahnya, membasahi pipi putih bak porselen yang sedikit tirus
Sae tak makan. Dirinya tak pernah ingin makan sebanyak biasanya. Karena isi pikirannya tak pernah sama.
Dia masih terduduk di ranjangnya, menatap ponsel yang perlahan mati di tangannya. “Rin bener.” gumamnya.
“Lo ga guna banget, Sae. Semua yang lo perjuangin sia sia, semuanya gagal.” ujarnya lagi.
Ia merasa bodoh. Ia merasa putus asa.
Darahnya mendadak berdesir, Mata sayu nya kembali menyala, otaknya mulai mengarahkannya menuju suatu tempat.
Membuatnya menuruti itu.
Sae bergegas keluar dari pekarangan, berlari kencang menuju tempat istimewa itu. Setidaknya istimewa bagi mereka berdua.
Air matanya masih mengalir, bahkan semakin deras saat dirinya berlari menuju tempat tujuannya, Sae tidak mengerti, Mengapa Ia menangis tiap kali pergi ke tempat ini?
Mengapa… Ia takut?
“Bunda, bundaa. Ayoo Bundaa!” Dua sosok kecil itu menarik tangan Sang Ibunda untuk cepat memasuki mobil yang sudah diap untuk berjalan
Si Sulung tersenyum menatap adiknya, sedangkan Sang Adik terlihat antusias pada setiap langkahnya.
“Sae dan Rin sudah tidak sabar ya? Tunggu ya, nanti ayah bakal ngebut nguengg~” Sang Ayah membuat candaan, membuat Istri dan dua anaknya tertawa
“Gausah ngebut Mas, yang penting selamat sampai disana aja.” Sang Wanita berucap sambil mengangkat anaknya yang lebih muda.
“Iya, Dek. Mas becanda doang”
Oh.. Iya, Sae ingat cerita ini… Dirinya bahkan mengingat yang lebih jauh dibandingkan yang ini.
Sae ingat, dengan jelas saat kedua orangtuanya bertengkar ketika Adiknya sudah tidur.
Sae ingat, berapa kali kedua orangtuanya melibatkan kata cerai.
Sae ingat, berapa kali kedua orangtuanya menggunakan ribuan kata kasar.
Sae tau, cara yang digunakannya kepada Sang Adik salah. Namun Ia pun ragu. Mimpi yang dikejar Rin adalah mimpinya yang tidak bisa apa apa.
Mimpinya yang terhalang karena kerusakan sel sarafnya.
Namun jauh sebelum Rin, Sae sudah tau kejamnya dunia sepakbola.
Sekejam dan sekeji apa dunia ini. Sae sudah tau lebih dulu.
Tubuh jangkung itu sampai disana. Ditempat kejadian itu terjadi. Ah.. Sae tak pernah menuduh Rin sepenuhnya.
Sosok itu berjalan mendekat, menatap hamparan hamparan laut itu, hingga netranya melihat sesuatu.
Sepatu, dan Sebuah Ponsel.
Tangisannya bertambah, Sae tau dua barang ini. Dirinya berlari mendekat kearah laut, berharap melihat sesuatu, atau bahkan seseorang yang dikenalnya.
“Rin!” Ia berseru, memanggil Adik kesayangannya. Nihil.
Tak ada yang menjawab, Sae semakin mendekati laut. Berharap semakin melihat sesuatu, meski air mata yang menggenang di pelupuk membuat matanya buram
“Rin! Gue minta maaf!! Gue salah, balik, Rin. Balik ke gue!” Diusapnya matanya, “Adek! Abang mohon, balik!” Tangisnya pecah, “Abang mohon, Dek..”
“Abang yang salah, jadi jangan kamu yang pergi..”
Ia putus asa. Namun Ia tau, Ini yang terbaik.
Rin tidak boleh merasakan pahitnya dunia lebih jauh daripada Sae. Maka biarlah Sae yang menderita.