Remaja itu menatap temannya yang berdiri didepannya dengan tatapan emosi. Ia tertegun.
Ingin dirinya membalas tuduhan tak berdasar dari temannya itu, namun lidahnya kelu. Mulutnya seakan menolak untuk terbuka.
“Kenapa kau malah menyalahkanku? Padahal kau tahu kalau saat itu aku hanya diam!” Mendengar ucapan pemuda didepannya, matanya membesar.
“Kalau begitu, sama denganku! Bukannya yang menceritakan kejadian itu hanya Dean?!” Akhirnya, Ia mencoba untuk membalas.
“HAH?!” Pemuda didepannya, seseorang yang sangat dipercayainya, kemudian berkata padanya, “KAU ITU BENAR BENAR BRENGSEK” Sekali lagi, Rava tersentak.
“Hah? HAH? APAKAH KAU BAHKAN BERKACA?” Akhirnya Ia berseru. Dengan seluruh rasa kekesalan, dan kekecewaannya yang tak bisa Ia bendung, Ia berseru.
“KAU YANG MENYARANKAN KITA MELAKUKAN ITU, DAN AKU HANYA MEMANGGIL MEREKA!” Siswa-siswi di sepanjang koridor menatap mereka.
“Jadi, KENAPA KAU MELEMPARKAN KESALAHAN ITU PADAKU, RAGAS? BUKAN AKU SATU SATUNYA YANG SALAH DISINI, KAU JUGA!”
Rava kecewa, Ia benar benar mempercayai Ragas, hingga merelakan seseorang yang pernah menjadi sahabatnya berpindah pada Ragas.
Tentu, rasa sakit itu jelas terasa. Ragas benar benar merebut semuanya, dari Rava. “UNTUK APA KAU MEMANGGILKU JIKA HANYA INGIN MENYALAHKANKU? AKU PERCAYA PADAMU! Aku benar benar percaya padamu, Ragas..” Suaranya mengecil, tatapan kecewa yang ditahannya keluar begitu saja.
“Kau mengatakan itu seperti kau tak melakukan apapun. Padahal kita tahu, bahwa kau juga ikut campur, sialan!” Ragas menatapnya, “H-hah? Kau berniat menyalahkanku?”
“Bukannya ingin menyalahkanmu, tapi kau memang salah. Kau pikir, berapa kepercayaan yang ku taruh padamu? Aku mempercayaimu lebih dari mereka, jadi mengapa kau mengkhianatiku?”
“KENAPA KAU MEMBUATKU SEAKAN AKAN BARU SAJA MEMBUNUH SESEORANG?!” Lagi lagi Ia berseru. Matanya terasa panas. Sesak.
“K-kau memang salah, bajingan!” Ah, sialan. Rava mengalah, ditundukkannya kepalanya, dan mengambil nafas.
“Baiklah, kau menang. Aku selalu salah dimata kalian, kan? Kau menang! Sesuai dengan keinginanmu! Dan dengan begitu, kau tak memiliki sedikit pun kepercayaan dariku, lagi.” Dengan suara serak, Rava berbalik.
“Kau menang, mereka semua jatuh di sisi mu, hanya untukmu. Bukan untukku. Kau benar benar berhasil merebut semuanya dariku, Agas..” Rava pergi, meninggalkan Ragas yang masih terkejut disana.
-..
End?
[ Sebenernya selain iseng bikin yang satu ini, aku pengen ngeluapin amarahku juga. Salam kenal, aku Rava yang ada di cerpen itu. Hanya saja, aku tak seberani Rava untuk mengungkapkan seluruh amarahku, dan memilih diam menerima cacian dari Ragas yang benar benar menyakitkan. ]